Sabtu, 11 Februari 2012

PENYEBAB VARIABILITAS HUJAN DI INDONESIA

Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variabel-variabel atmosfer yang sama yang disebut unsur-unsur iklim. Unsur-unsur iklim ini terdiri dari radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan, presipitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin. Unsur-unsur ini berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang disebabkan oleh adanya pengendali-pengendali iklim (Anonim, ? ). Pengendali iklim atau faktor yang dominan menentukan perbedaan iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain menurut Lakitan (2002) adalah (1) posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang), (2) keberadaan lautan atau permukaan airnya, (3) pola arah angin, (4) rupa permukaan daratan bumi, dan (5) kerapatan dan jenis vegetasi.

Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta dikelilingi oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas moonson yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim di Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun (Boer, 2003).
Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan salah satu akibat dari penyimpangan iklim. Fenomena ini akan menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan untuk beberapa daerah di Indonesia. Menurut Boer (2003) sejak tahun 1844 Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan atau jumlah curah hujan di bawah rata-rata normal tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kali kejadian tersebut hanya 6 kali kejadiannya tidak bersamaan dengan kejadian fenomena El-Nino, hal ini menunjukkan bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini.
Menurut penelitia Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi seperti yang diungkapkan oleh Irianto (2003) bahwa dampak dari fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, musim kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat. Irianto, dkk (2000) juga mengungkapkan bahwa pada saat fenomena El-Nino terjadi, curah hujan untuk wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah hujan yang mencapai 60% dari rata-rata curah hujan normal. Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina berlangsung menurut Effendy (2001) akan meningkatkan jumlah curah hujan tahunan sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata. Irianto, dkk (2000) mengatakan bahwa pada saat fenomena La-Nina terjadi di Pulau Jawa curah hujan meningkat sampai 140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya mencapai 120%. Boer (2003) juga mengatakan bahwa La-Nina berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah curah hujan pada musim kemarau dari pada jumlah hujan pada saat musim hujan.
Liong, dkk (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SST pada Niño 3.4, perioda 1961 sd 2001 wilayah Maritime Continent bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Niño sedangkan wilayah NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon) hanya sekitar –0,3. Untuk wilayah Maritime Continent bagian barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 82/83 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat lemah. Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IOD diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Niño, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD. Menurut Hendon (2003) dalam Aldrian dan Susanto (2003) variabilitas SST di Niño 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SST di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.
Pengaruh fenomena El-Nino terhadap hujan di Indonesia sangat beragam. Pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang berpola hujan moonson, lemah pada daerah berpola hujan equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan pola hujan lokal (Tjasyono, 1997 dalam Irianto, dkk., 2000), sedangkan IOD hanya berpengaruh jelas pada daerah berpola hujan monson (Nugroho and Yatini, 2007).
Selain akibat pengaruh fluktuasi suhu permukaan laut di samudera pasifik dan Samudera Hindia (ENSO dan IOD), fenomena fase aktif osilasi intra-musiman yg dikenal sebagai MJO (Madden-Julian Oscillation) juga mempengaruhi variabilitas hujan di Indonesia. MJO adalah osilasi/gelombang tekanan (pola tekanan tinggi-tekanan rendah) dengan periode lebih kurang 48 hari yang menjalar dari barat ke timur. Biasanya berawal di pantai timur Afrika kemudian menjalar ke timur dan menghilang di bagian tengah Pasifik . Menurut Geerts and Wheeler (1998) MJO akan menyebabkan terjadinya variasi pada pola angin, suhu permukaan laut (SPL), awan dan hujan. fase aktif MJO bila bersamaan waktunya dengan dengan musim hujan (Desember, Januari dan Februari) atau angin munsoon barat dapat menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan sekitar 200%. gambar di bawah menunjukkan pergerakan pola hujan serta anomalinya pada daerah-daerah yang dilewati oleh MJO.

1 komentar:

  1. maaf Gan, warna tulisan n bedground G singkron jd susah bacanya

    BalasHapus